LAPORAN PEMBUATAN BAKSO ITIK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan suber daya lokal diindonesia
belum begitu dioptimalkan dengan baik, hal tersebut dapat diamati dengan
kurangnya pengoptimalan pemanfaatan daging unggas air (itik atau entok).
Padahal apabila pemnafaatan tersebut dilakukan secara optimal maka dapat
dijadikan sebagai alternative perbaikan gizi yang dilakukan melalui konsumsi
protein hewani. Kurang optimalnya pemanfaatan daging itik dikarenakan pada
daging tersebut memiliki bau yang lebih amis (off flavor) dan tampilan yang
kurang menarik apabila dibanding dengan ayam.
Guna
meningkatkan nilai tambah dari daging itik maka diperlukan variasi pengolahan
baru yang sekiranya dapat mengurangi kekurangan dari daging itik tersebut
sehingga pemanfaatannya dapat optimal. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah dengan membuat bakso dari daging itik dikarenakan seperti yang kita
lihat bakso merupakan makanan yang hampir disukai oleh semua orang. Umumnya
daging yang digunakan pada pembuatan bakso merupakan daging sapi, ayam maupun
ikan dengan bahan campuran tepung tapioka.. Untuk daging itik sampai sekarang
belum digunakan sebagai bahan pembuat bakso dan tepung sagu sebagai ekstender
dalam pembuatan bakso.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari komposisi kimia dan fisik dari bakso dengan menggunakan daging itik
dan tepung sagu.
TINJAUAN
PUSTAKA
Itik
merupakan unggas air penghasil telur dan daging. Akan tetapi produk yang
biasanya diambil dari itik adalah telur. Sumber daging itik sebagian besar
berasal dari itik betina afkir. Ketersediaan daging itik dapat juga dipenuhi
melalui pemeliharaan itik jantan yang selama ini dipelihara sebagai pejantan
berubah fungsi menjadi itik pedaging. Daging itik sendiri merupakan daging
unggas yang berwarna merah, karena sebagian besar mengandung serabut merah dan
sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut merah
sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16% (Smith, 2001).
Daging
itik merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang masih kurang
diminati, lain halnya dengan daging sapi, daging kambing maupun daging ayam,
hal ini disebabkan oleh daging itik mempunyai bau yang tak sedap (anyir) yang
disebabkan oleh komponen volatile yang berasal dari hasil oksidasi lemak.
Reaksi ini diakibatkan oleh adanya asam lemak tidak jenuh (Hustiyani, 2001).
Usaha peningkatan daya terima masyarakat terhadap daging itik terus
dikembangkan. Salah satunya adalah dengan pembuatan bakso itik.
Bakso
daging adalah produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran
daging ternak tidak kurang dari 50% dan pati atau serelia dengan atau tanpa
bahan pangan yang diizinkan (Standar Nasional Indonesia, 1995). Bakso sendiri
diperkirakan berasal dari Cina yang dibawa oleh perantau Cina ke Indonesia.
Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas emapat tahap yakni (1)
penghancuran daging, (2) pembuatan adonan,
(3) pencetakan dan (4) Pemasakan (Soekarto, 1990).
Tujuan
dari penghancuran daging adalah untuk memecah dinding sel serabut otot,
sehingga protein daging seperti myosin dan aktin dapat diekstrak dengan
menggunakan larutan garam (Pisul, 1984). Pada proses penggilingan akan terjadi
kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan. Suhu diatas 20oC dapat
menyebabkan denaturasi protein dan pecahnya emulsi adonan, sehingga kestabilan
emulsi perlu dipertahankan pada suhu dibawah 20oC (pearson dan
Tuber, 1984). Penyimpanan adonan sebelum Dicetak menjadi bakso bertujuan untuk
meningkatkan jumlah protein larut garam dan emulsi atau adonan bakso, juga
dapat memperbaiki sifat fisik bakso yang dihasilkan.
Berdasarkan
jenis daging yang digunakan sebagai bahan untuk membuat bakso, maka dikenal
berbagai jenis bakso seperti bakso ikan, bakso babi, dan bakso sapi.
Penggolongan bakso sapi menjadi tiga kelompok masing-masing bakso daging, bakso
urat, dan bakso aci. Penggolongan tersebut dilakukan atas perbandingan jumlah
tepung pati dan jumlah serta jenis daging yang digunakan dalam pembuatan bakso,
dimana bakso daging biasanya dibuat dengan menggunakan daging dengan jumlah
yang lebih besar dari pada tepung yang digunakan.
Bahan pembuatan bakso selain daging juga
biasanya dicampur dengan tepung. Macam tepung beraneka ragam, ada tepung sagu,
tapioka dan lainnya. Tepung sagu merupakan pati yang diperoleh dari pengolahan
empelur pohon sagu (Metroxylon Sp) yang bersih dan baik. Pati sagu mengandung
sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin, dan pada konsentrasi yang sama pati
sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serelia
lain. Hal ini berarti untuk mendapatkan viskositas yang sama, maka tepung sagu
dibutuhkan lebih sedikit daripada tepung serealia (Harsanto, 1986).
PEMBAHASAN
A. Bahan
dan Metode
Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging itik manila dan tepung sagu,
dan bumbu (merica, bawang putih, garam).
Metode
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 5
perlakuan dan 22 ulangan. Perlakuannya terdiri dari P0 = 60 % daging sapi dan
40% tepung sagu (kontrol), P1 = 85% daging itik 15% tepung sagu, P2 = 75%
daging itik 25% tepung sagu, P3 = 65% daging itik 35% tepung sagu dan P4 = 55%
daging itik 45% tepung sagu.
B. Hasil
dan Pembahasan
Hasil
yang diperoleh untuk komposisi kimia dari bakso adalah
Tabel 1. Kadar air, kadar
protein dan lemak
Perlakuan Variabel
|
Variabel
|
||
Kadar Air (%)
|
Kadar
Protein(%)
|
Kadar Lemak (%)
|
|
60%DS:40%TS(kontrol)
|
57,44
|
12,35
|
0,08c
|
85%DI:15%TS
|
67,98
|
11,73
|
2,86a
|
75%DI:25%TS
|
62,38
|
10,05
|
1,23b
|
65%DI:35%TS
|
58,70
|
8,94
|
1,19b
|
55%DI:45% TS
|
55,19
|
7,88
|
1,17b
|
Rataan
|
60,34
|
10,19
|
1,31
|
Keterangan : DS
=daging sapi, DI=daging itik, TS = tepung sagu
Hasil penelitian menunjukkan kadar air
bakso dengan perbedaan komposisi daging tidak berpengaruh nyata. Kadar air
tertinggi terdapat pada bakso itik dengan level daging 85 persen dan tepung
sagu 15 persen, sedangkan kadar air terendah pada penggunaan daging 55 persen
dan sagu 45 persen. Kadar air cenderung menurun dengan menurunnya level daging
dalam bakso. Penurunan ini disebabkan oleh kadar air tepung sagu sebagai
pengganti sebagian daging itik lebih kecil dari kadar air daging itik.
Hasil analisis ragam menunjukkan level
daging dalam bakso tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar protein
bakso. Kadar protein bakso dengan menggunakan daging itik menurun seiring
dengan menurunnya level daging itik dalam bakso. Hal ini karena rendahnya
kandungan protein tepung sagu sebagai substitusi sebagian daging itik lebih
rendah dari kandungan protein daging itik.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
level daging dalam bakso berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak
bakso. Kadar lemak bakso itik pada semua level penggunaan daging itik nyata
lebih tinggi dibanding dengan bakso daging sapi, Semakin rendah level daging
itik dalam bakso, kadar lemak bakso juga semakin rendah karena kadar lemak
tepung sagu sebagai pengganti daging itik lebih rendah.
untuk hasil sifat fisik dari pengaruh
daging itik dan tepung sagu pada bakso diperoleh data sebagai berikut:
Tabel
2. Sifat Fisik Daging Sapi
Perlakuan
|
keempukan
|
bau
|
warna
|
rasa
|
P0
|
2,81
|
3,31
|
3,54
|
3,0
|
P1
|
3,77
|
3,37
|
2,86
|
3,41
|
P2
|
3,50
|
3,36
|
3,18
|
3,41
|
P3
|
3,45
|
3,50
|
3,27
|
3,23
|
P4
|
3,09
|
3,77
|
3,50
|
3,09
|
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keempukan
level daging dalam bakso tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap keempukan
bakso. Nilai keempukan bakso daging itik berkurang dengan menurunnya level
daging dalam bakso. Penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya level tepung
sagu.
Untuk Bau menunjukkan bahwa level daging
dalam bakso tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bau bakso. bakso
daging itik sedikit lebih tinggi dibanding bakso daging sapi artinya bakso
daging itik sedikit lebih amis dibanding bakso daging sapi. Bau amis cenderung
menurun dengan meningkatnya level tepung sagu.
Uji warna yang diperoleh menunjukkan bahwa
level daging dalam bakso tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna
bakso. Warna bakso dari daging itik cenderung lebih gelap dibanding warna bakso
daging sapi. Semakin tinggi level daging itik menyebabkan nilai warna bakso
semakin tidak disukai karena berwarna lebih gelap.
Uji Rasa dapat dilihat dari Respon
panelis terhadap rasa bakso daging itik yang menunjukkan hasil tidak berbeda
nyata (P>0,05) dengan daging sapi, level daging itik dalam bakso juga tidak
berpengaruh terhadap rasa bakso. Dimana penggunaan daging itik 85 persen (P1)
dan 75 persen (P2) cenderung lebih disukai.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian
pengaruh daging itik dan tepung sagu terhadap komposisi kimia dan fisik bakso
dengan perlakuan rancangan acak lengkap 5 perlakuan dan 22 ulangan dapat
disimpulkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar
air dan kadar protein bakso tetapi nyata (P<0.05) mempengaruhi kadar lemak
bakso. Perlakuan yang digunakan adalah P0=
60 % daging sapi dan 40% tepung sagu (kontrol), P1= 85% daging itik 15% tepung
sagu, P2= 75% daging itik 25% tepung sagu, P3= 65% daging itik 35% tepung sagu
dan P4= 55% daging itik 45% tepung sagu. Untuk kadar air dan Kadar protein adalah 60,34% dan 10,19 % dimana kandungan
tersebut akan semakin menurun dengan
menurunnya level daging dalam bakso. Hasil untuk kadar lemak adalah 1,31 dengan
Kadar lemak bakso itik pada semua level penggunaan daging itik nyata lebih
tinggi dibanding dengan bakso daging sapi,dan untuk hasil dari penelitian uji
fisik (keempukan, bau, warna dan rasa) bakso daging itik manila dan tepung sagu
tidak adaperbedaannya dengan bakso daging sapi.
DAFTAR
PUSTAKA
A.A. Putra, N.
Huda and R. Ahmad. 2011. Changes During the Processing of Duck Meatballs Using
Different Fillers after the Preheating and Heating Process. International
Journal of Poultry Science 10 (1):62-70.
Ariansah, Y., N.
Ulupi, Rukmiasih. 2008. Physical and Organoleptic Properties of Meatball, with
and Without Skin from Duck with Addition of Beluntas Leaf Powder in Feed.
Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.
B. Ikhsan, N.
Huda and I. Noryati. 2011. Chemical Composition and Physicochemical Properties
of Meatballs Prepared from Mechanically Deboned Quail Meat Using Various Types
of Flour. International Journal of Poultry Science 10 (1): 30-37.
Lisa M.
Maharaja. 2008. Penggunaan Campuran Tepung Tapioka dengan Tepung Sagu dan
Natrium Nitrat dalam Pembuatan Bakso Daging Sapi. Universitas Sumatra Utara
Repository.
M. Wattimena,
V.P. Bintoro, S. Mulyani. 2013. Kualitas Bakso Berbagai Dasar Daging Ayam dan
Jantung Pisang dengan Bahan Pengikat Tepung Sagu. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan Vol. 2 No. 1.
Olfa Mega, Desia Kaharuddin, Kususiyah dan
Yosi Fenita. 2009. Pengaruh Beberapa Level Daging Itik Manila dan Tepung Sagu
terhadap Komposisi Kimia dan Sifat Organoleptik Bakso. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia Vol. 3, No 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar